Jumat, 11 Desember 2009

Feel

Saat ada bedah buku “FEEL” – sebuah novel pertama dari Wulan Guritno dan Adila Dimitri, suaminya – di kampusku tanggal 3 Desember kemarin, dalam hati aku bilang, “Pokoknya harus lihat!”. Awalnya untuk bisa hadir di acara itu ribet: ponselmu harus memakai salah satu kartu dari provider yang punya acara tersebut. Kemudian kamu harus mendaftarkan diri di salah satu programnya yang bertema kampus. Ok, sehari sebelum acara aku beli salah satu kartu perdananya dan register.

Dan pas harinya, semua itu nggak diperlukan. Siapapun boleh masuk dan cukup mengisi buku tamu. Aku duduk dan… takjub melihat sosok Wulan Guritno pertama kali dalam hidupku. Langsung. Tanpa pembatas apapun.

Waktu itu aku datang bersama teman sekosku. Dia bilang padaku kalau sangat ingin mengajukan pertanyaan karena ingin melihat lebih dekat lagi Wulan Guritno. Kemudian aku minta dia untuk menanyakan apa yang ingin aku tanyakan – karena aku pun juga ingin ikut bertanya tapi tahulah gimana aku. Aku bisa mati gugup. Setelah giliran temenku bertanya: berdiri, maju ke tengah, tempat dimana mikropon berdiri, dan disitulah kamu akan bicara. Sementara dalam sekali di dalam tubuhku aku tidak berhentinya ribut sendiri – aku sangat ingin bertanya. Bukan masalah dengan apa yang akan kutanyakan, tapi lebih kepada keberanian untuk public speaking, itu istilah kerennya. Ini kesempatan untuk berlanjut pada kesempatan yang lebih besar lagi.

Aku mulai memerhatikan mereka yang hadir disitu. Mulai berpikir jumlah penonton – oh, ini sama seperti kuliah di kelas. Baiklah.

Begitu moderator bilang kalau pada saat itu adalah kesempatan terakhir untuk bertanya, pergelangan tanganku terangkat. Dan aku benar-benar menjadi yang terakhir. Sajian penutup, boleh dibilang.

Melegakan, aku berdiri di depan mikropon sekitar 5 menit dengan tidak satu pertanyaan, tapi 3 seingatku. Dengan muka panas sekali aku mendengarkan jawaban mereka sambil masih berdiri di dpean mikropon. Sampai jawabanku tuntas dijawab.

Acara usai aku beli satu Feel dan minta tandatangan kedua penulisnya, kemudian berfoto bersama.

Kesimpulannya bukan soal tandangan atau foto bareng Wulan Guritno, tetapi keberanian. Untuk menjadi berani semuanya itu yang mengendalikan diri kita sendiri. Ketakutan hanya bisa diatasi dengan tindakan. Itu poinnya.